BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang Masalah
Hal paling umum
yang menjadi salah satu penggerak ekonomi konvensional adalah riba atau
interest. Menurut Adiwarman Karim, suku bunga sendiri pada awalnya merupakan rate of return bagi kepemilikan modal,
atau imbal jasa atas modal yang digunakan dalam proses produksi, bukan
merupakan sebuah keuntungan atau uang yang dipinjamkan kepada investor yang
menjalankan perekonomian.
Dalam ekonomi
islam, riba dapat diartikan sebagai sebuah tambahan atas pinjaman yang diberikan
kepada pihak peminjam terhadap pihak yang dipinjamkan tanpa keikhlasan dari
pihak yang meminjamkan. Ekonomi islam kini menganggap bahwa interest rate sebagai perannya dalam menggerakkan
perekonomian konvensional sekarang dapat diubah dengan rate on kapital, yaitu pendapatan atas modal barang dan jasa dalam
proses produksi. Dengan alasan ini, adiwarman Karim menjelaskan bahwa perbankan
islam dapat menggerakkan perputaran kegiatan atau aktivitasnya dengan ikut
masuk ke dalam proses produksi yaitu dengan ikut atau berperan aktif dalam
kegiatan usaha. Oleh karena itu, maka dua produk perbankan islam yang sekarang
ada terbentuk dari ide dasar ini. Mudhorobah dan musyarokah dapat dikedepankan
sebagai dua produk islam yang sering muncul dari ide dasar bahwa perbankan
islam haruslah perbankan yang mengambil untung dari ikut berperannya mereka
dlam berproses produksi dengan mendapat bagian dari bagi hasil pendapatan atau
untung usaha yang didapatkan perusahaan yang menjadi rekan usahanya.
B.
Rumusan
Maslah.
1. Bagaimana
sostem penyaluran dana Bank Syari’ah?
2. Apa
saja Produk Penyaluran Dana Bnak Syari’ah?
C.
Tujuan.
1.
Untuk mengetahui
sistem Penyaluran Dana Bank Syari’ah.
2.
Untuk mengetahui
produk Penyaluran Bank Syari’ah.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Sistem Penyaluran Dana Bank Syari’ah.
Penyaluran dana
dalam Bank konvensional, kita kenal dengan istilah kredit atau pinjaman.
Sedangkan dalam Bank Syari’ah untuk penyaluran dananya kita kenal dengan
istilah pembiayaan. Jika dalam Bank Konvensional keuntungan Bank diperoleh dari
bunga yang dibebankan, maka dalam Bank Syari’ah tidak ada istilah bunga, tetapi Bank
Syari’ah menerapkan sistem bagi hasil. Prinsip bagi hasil dalam Bank Syari’ah
yang diterapkan dalam pembiayaan dapat dilakukan dalam empat akad utama, yaitu:
·
Al-musyarokah
·
Al-mudharabah
·
Al-muzaro’ah
·
Al-musaqoh[1]
B.
Produk
Penyaluran Dana Bank Syari’ah.
Produk
penyaluran dana di Bank Syari’ah dapat dikembangkan dengan tiga model, yaitu:
a. Transaksi
pembiayaan yang di tujukan untuk memiliki barang dilakukan dengan prinsip jual
beli. Prinsip jual beli ini dikembangkan menadi bentuk pembiayaan-pembiayaan
murobahah, salam, dan istisna’.
b. Transaksi
pembiayaan yang ditujukan untuk mendapatkan jasa dilakukan dengan prinsip sewa (ijarah).
Transaksi ijarah dilandasi adanya pemindahan manfaat. Jadi pada dasarnya
prinsip ijarah sama dengan prinsip jual beli, namun perbedaanya terletak
pada obyek transaksinya. Bila pada jual beli obyek transaksinya adalah barang,
maka pada ijarah obyek transaksinya jasa.
c. Transaksi
pembiayaan yang ditujukan untuk usaha kerjasama yang ditujukan guna mendapatkan
sekaligus barang dan jasa, dengan prinsip bagi hasil.[2]
Selain
itu, secara garis besar produk pendanaan dan pembiayaan bank syari’ah di
bagikan kedalam empat kategori yang dibedakan berasarkan tujuan penggunaannya.
Keempat kategori itu adalah:
·
Pendanaan dengan
prinsip bagi hasil.
·
Pembiayaan
dengan prinsip jual beli.
·
Pembiayaan
dengan prinsip sewa, dan
·
Pembiayaan
dengan akad pelengkap.
1. Pendanaan dengan prinsip bagi hasil.
Prisip
ini dirancang untuk terbinanya kebersamaan dalam menanggung risiko dan berbagi
hasil usaha antara pemilik dana dan
pengelola dana. Prinsip bagi hasil
dalam
perbankan syari’ah diaplikasikan dalam bentuk layanan musyarokah dan mudarabah.
Kedua layanan permodalan ini, secara umum, dimilki bank syari’ah.[3]
a.
Musyarokah
Musyarokah adalah kerja sama antara dua belah pihak
atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan
konstribusi dana dengan keuntungan dan risiko usaha akan ditanggung bersama
sesuai dengan kesepakatan.
Ø Landasan Hukum
Al-Qur’an
Maka
mereka berserikat pada sepertiga. (QS. An-Nisaa (4): 12).
Dan
Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka
berbuat zalim kepada sebagian yang lain
kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh. (QS. Shaad:
24).
Secara tekhnis perbankan, feature
musyarokah dapat dijelaskan sebagai berikut:
1. Musyarokah
dalam perbankan adalah
syirkah inan,yakni akad
kerja sama antara dua pihak, dimana masing-masing pihak menyerahkan dana
sebagai modal.
2. Penggunaan akad musyarokah untuk
proyek atau usaha kerja sama.
3. Ketentuan
atas akad musyarokah.
a) Dapat
berupa uang tunai atau aset yang likuid.
b) Dana
tersebut menjadi
modal
usaha / proyek bersama.
c) Dana
tidak boleh untuk memberi pinjaman bagi pihak ketiga.
Ketentuan
umum pembiayaan musyarokah adalah sebagai berikut:
1. Semua
modal disatukan untuk dijadikan modal proyek mustyarokah dan dikelola
bersama-sama. Setiap pemilik modal berhak turut serta dalam menentukan
kebijakan usaha yang dijalan kan oleh pelaksana proyek.
2. Biaya
yang timbul dalam pelaksanaan proyek dan jangka waktu proyek harus diketahui
bersama. Keuntungan dibagi sesuai porsi kesepakatan sedangkan kerugian dibagi sesuai
dengan kontribusi modal.
3. Proyek
yang akan dijalankan harus disebutkan dalam akad. Setelah proyek selesai
nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati
untuk bank.[4]
b.
Mudharabah.
Mudharabah
adalah akad kerjasama antara dua
pihak, yaitu pihak pertama menyediakan seluruh modal dan pihak lain menjadi pengelola. Keuntungan dibagi
menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Apabila rugi, kerugian
tersebut akan ditanggung pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat dari
kelalaian pengelola. Apabila kerugian itu bukan akibat dari kelalaian
pengelola, pengelola bertanggung jawab mengatasinya.
Dalam dunia perbankan, al-mudharabah biasanya diaplikasikan pada produk pembiayaan
atau pendanaan,
seperti pembiayaan modal
kerja. Dana untuk kegiatan mudharabah
di ambil dari simpanan tabungan berjangka, seperti tabungan haji atau tabungan
kurban. Dana juga dapat dilakukan dari deposito biasa dan deposito spesial yang dititipkan
nasabah untuk usaha tertentu.[5]
Fitur dan
mekanisme dalam pembiayaan atas dasar akad mudharabah:
a.
Bank bertindak sebagai pemilik dana (shahibul maal) yang menyediakan dan
dengan fungsi sebagai modal kerja, dan nasabah bertindak sebagai pengelola dan
(mudharib) dalam kegiatan usahanya;
b.
Bank memiliki hak dalam pengawasan dan pembinaan usaha
nasabah walaupun tidak ikut serta dalam pengelolaan usaha nasabah;
c.
Pembagian hasil usaha dari pengelolahan dana
dinyatakan dalam nisbah yang disepakati;
d.
Nisbah bagi hasil yang disepakati tidak dapat diubah
sepanjang jangka waktu investasi, kucuali atas dasar kesepakatan para pihak;
e.
Jangka waktu pembiayaan atas dasar akad mudharabah, pengembalian dana, dan
pembagian hasil usaha ditentukan berdasarkan kesepakatan bank dan nasabah;
f.
Pembiayaan atas dasar akad mudharabah diberikan dalam bentuk uang/atau barang, serta bukan
dalam bentuk piutang tagihan;
g.
Pengembalian pembiayaan atas dasar mudharabah dilakukan dalam dua cara,
yaitu secara angsuran ataupun sekaligus pada akhir periode akad, sesuai dengan
jangka waktu pembiayaan atas dasar akad mudharabah.
h.
Pembagian hasil usaha dilakukan atas dasar laporan
hasil usaha pengelola dana (mudharib)
dengan disertai bukti pendukung yang dapat dipertanggung jawabkan; dan
i.
Kerugian usaha nasabah pengelola dana (mudharib) yang dapat ditanggung oleh
bank selaku pemilik dana (shahibul maal)
adalah maksimal sebesar jumlah pembiayaan yang diberikan (ra’sul maal).[6]
2. Pembiayaan dengan prinsip jual beli.
Prinsip
jual beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahan kepemilikan barang.
Tingkat keuntungan yang diperoleh Bank ditentukan didepan dan menjadi bagian
harga atas barang yang dijual.
v Mekanisme
prinsip jual beli.
1) Dilakukan
untuk transfer of property.
2) Tingkat
keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi harga jual barang.
Ada
tiga jenis jual beli yang dijadikan dasar dalam pembiayaan dalam Bank Syari’ah sebagai berikut:
a.
Murabahah.
1. Definisi
Murabahah adalah transaksi jual beli suatu barang sebesar harga
perolehan barang ditambah dengan margin yang disepakati oleh para pihak, di
mana penjual menginformasikan terlebih dahulu harga perolehan kepada pembeli.
2.
Fitur dan mekanisme
a)
Bank bertindak sebagai pihak penyedia dan dalam
kegiatan transaksi murabahah dengan nasabah;
b)
Bank dapat membiayai sebagian atau seluruh harga
pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya;
c)
Bank wajib menyediakan dana untuk merealisasikan
penyediaan barang yang dipesan nasabah;
d)
Bank dapat memberikan potongan dalam besaran yang
wajar dengan tanpa diperjanjikan di muka.
3.
Tujuan/Manfaat
a)
Bagi Bank
1.
sebagai salah satu bentuk penyaluran dana;
2.
memperoleh pendapatan dalam bentuk margin.
b)
Bagi Nasabah
1.
Merupakan salah satu alternatif untuk memperoleh
barang tertentu melalui pembiayaan dari bank;
2.
Dapat mengangsur pembayaran dengan jumlah angsuran
yang tidak akan berubah selama masa perjanjian.
b.
Salam.
1.
Definisi
Akad salam transaksi jual beli barang dengan cara
pemesanan dengan syarat-syarat tertentu dan pembayaran tunai terlebih dahulu
secara penuh. Salam adalah transaksi jual beli dimana barang yang
diperjual belikan belum ada. Oleh karena itu barang diserahkan secara tangguh
sementara pembayaran dilakukan tunai. Bank bertindak sebagai pembeli dan
nasabah sebagai penjual.
Dalam
praktik perbankan, ketika barang telah diserahkan kepada bank, maka bank akan
menjualnya kepada rekanan nasabah atau kepada nasabah itu sendiri secara tunai
atau secara cicilan. [7]
2.
Fitur dan mekanisme
a)
Bank bertindak sebagai pihak penyedia dana dalam
kegiatan transaksi salam dengan nasabah;
b)
Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam
bentuk perjanjian tertulis berupa akad pembiayaan atas salam;
c)
Penyediaan dana oleh Bank kepada nasabah harus
dilakukan di muka secara penuh yaitu pembiayaan atas dasar akad salam
disepakati atau paling lambat 7 hari setelah pembiayaan atas dasar akad salam
disepakati; dan
d)
Pembayaran oleh bank kepada nasabah tidak boleh dalam
bentuk pembebasan utang nasabah kepada bank atau dalam bentuk piutang bank.
3.
Tujuan/Manfaat
a)
Bagi Bank
1.
sebagai salah satu bentuk penyaluran dana dalam rangka
memperoleh barang tertentu sesuai kebutuhan nasabah akhir;
2.
memperoleh peluang untuk mendapatkan keuntungan
apabila harga pasar barang tersebut pada saat diserahkan ke bank lebih tinggi
dari pada jumlah pembiayaan yang diberikan;
3.
memperoleh pendapatan dalam bentuk margin atas
transaksi pembayaran barang ketika diserahkan kepada nasabah akhir.
b)
Bagi Nasabah memperoleh dana dimuka sebagai modal
kerja untuk memproduksi barang.
c.
Istishna’
1. Definisi
Akad istishna’ transaksi jual beli barang dalam bentuk pemesanan
pembuatan barang dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati
dengan pembayaran sesuai dengan kesepakatan. Produk istisna’
menyerupai produk salam, tapi dalam istisna’ pembayarannya dapat dilakukan oleh
bank dalam beberapa kali (termin) pembayaran. Skim istisna’ dalam bank syari’ah
umumnya diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi.[8]
2. Fitur dan
mekanisme
a)
Bank bertindak sebagai pihak penyedia dana dalam
kegiatan transaksi istishna’ dengan nasabah; dan
b)
Pembayaran oleh bank kepada nasabah tidak boleh dalam
bentuk pembebasan utang nasabah kepada bank atau dalam bentuk piutang bank.
3. Tujuan/manfaat
a) Bagi bank
1. Sebagai salah
satu bentuk penyaluran dana dalam rangka menyediakan barang yang diperlukan
oleh nasabah;
2. memperoleh
pendapatan dalam bentuk margin.
b) Bagi nasabah
memperoleh barang yang dibutuhkan sesuai spesifikasi tertentu.[9]
3. Pembiayaan dengan prinsip sewa (ijarah).
Transaksi
ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat. Jadi pada dasarnya prinsip ini
sama saja dengan prinsip jual
beli, namun perbedaanya terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual beli
transaksinya adalah barang, maka pada ijarah objek transaksinya adalah jasa.
Aplikasi
dari pola ijarah dalam perbankan syari’ah diwujudkan dalam bentuk leasing, baik
dalam bentuk opreating lease maupun finansial lease.[10]
Akan tetapi pada umumnya, bank-bank tersebut lebih banyak menggunakan al-ijarah
al-muntahi bittamlik, yaitu: akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan
barang ditangan sipenyewa. Hal ini dilakukan karena lebih sederhana dari sisi
pembukuan. Selain itu, bank juga tidak direpotkan untuk mengurus pemeliharaan
aset, baik pada saat leasing maupun
sesudahnya.
Penerapan ijaroh dalam perbankan
syari’ahdapat berupa sewa murni (ijarah tasyghiliyyah) dan sewa beli (ijarah
wa iqtina/ ijarah muntahiya bittamlik). Kedua bentuk tersebut, secara
konvenional dikenal sebagai operating lease dan financial lease, yang
kedua-duanya sebagai bentuk dari sewa guna usaha (leasing).[11]
4. Akad pelengkap.
Akad
pelengkap ini merupakan upaya untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan bank
syari’ah. Pembiayaan yang dilakukan
menggunakan akad-akad ini tidak di orientasikan pada keinginan untuk memperoleh
keuntungan. Hanya saja, pihak bank dapat menetapkan biaya pengganti dari biaya
yang dikeluarkan bank.[12]
Beberapa akad pelengkap itu adalah:
a. Rahn,
merupakan kegiatan menahan salah satu harta milik peminjam sebagai jaminan atas
pinjaman yang diterimanya. Kegiatan seperti ini dilakukan seperti jaminan utang
atau gadai.
Rukun dari akad rahn harus dipenuhi dalam transaksi ada
beberapa yaitu:
1) Pelaku akad,
yaitu rahin (yang menyerahkan
barang), dana murtahin (penerima
barang);
2) Objek akad,
yaitu marhun (barang jaminan) dan marhun bih (pembiayaan); dan
3) Sighah, yaitu ijab dan qabul.
Sedangkan syarat-syarat dari akad rahn,
yaitu:
1) Pemeliharaan dan
penyimpanan jaminan; dan
2) Penjualan
jaminan.[13]
Tujuan akad rohn adalah untuk memberikan
jaminan pembayaran kembali kepada bank dalam memberikan pembiayaan.
Barang yang digadaikan wajib memenuhi
kriteria:
1. Milik
nasabah sendiri.
2. Jelas
ukuran, sifat, dan nilainya ditentukan berdasarkan nilai riil pasar.
3. Dapat
dikuasai, namun tidak boleh dimanfaatkan oleh bank.
Atas izin bank, nasabah dapat
menggunakan barang tertentu yang digadaikan dengan tidak mengurangi nilai dan
merusak barang yang digadaikan apabila barang yang digadaikan rusak atau cacat,
nasabah harus bertanggung jawab.
Apabila nasabah wanprestasi, bank dapat
melakukan penjualan barang yang digadaikan atas perintah hakim. Nasabah mempunyai
hak untuk menjual barang tersebut dengan seizin bank.apabila hasil penjualan
melebihi kewajibannya, kelebihan tersebut menjadi milik nasabah. Dalam hal hasil penjualan
tersebut lebih kecil dari kewajibannya, maka nasabah harus menutupi kekurangannya.[14]
b. Wakalah, artinya nasabah memberi kuasa kepada
bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti transfer, kliring, L/C (letter
of credit).
Atas jasanya, maka penerima kekuasaan dapat meminta imbalan tertentu dari
pemberi amanah.
Rukun dari akad wakalah yang harus dipenuhi dalam
transaksi ada beberapa hal, yaitu:
1) Pelaku akad,
yaitu muwakkil (pemberi kuasa) adalah
pihak yang memberikan kuasa kepada pihak lain, dan wakil (penerima kuasa) adalah pihak yang diberi kuasa;
2) Objek akad,
yaitu taukil (objek yang dikuasakan);
dan
3) Shighah, yaitu ijab dan qabul.
Sedangkan syarat-syarat dari akad wakalah, yaitu:
1) Objek akad harus
jelas dan dapat diwakilkan; dan
2) Tidak
bertentangan dengan syariat islam.
Bentuk-bentuk akad wakalah, antara lain:
1)
Wakalah muthlaqah, yaitu perwakilan yang tidak terikat syarat tertentu;
dan
2)
Wakalah muqayyadah¸ yaitu perwakilan yang terikat oleh syarat-syarat yang
telah ditentukaan dan disepakati bersama.[15]
c. Hiwalah
adalah transaksi pengalihan utang piutang. Dalam praktek perbankan fasilitas
hiwalah lazimnya digunakan untuk membantu supplier mendapatkan modal tunai agar
dapat melanjutkan produksinya. Bank mendapat ganti biaya atas jasa pemindahan
piutang.
Rukun dari akad hiwalah yang harus dipenuhi dalam
transaksi ada beberapa, yaitu:
1)
Pelaku akad, yaitu muhal
adalah pihak yag berhutang, muhil
adalah pihak yang mempunyai piutang, muhal
‘alaih adalah pihak yang mengambil utang/piutang;
2)
Objek akad, yaitu muhal
bih (utang); dan
3)
Shighah, yaitu ijab
dan qabul.
Sedangkan
syarat-syarat dari akad hiwalah, yaitu
1)
Persetujuan para pihak terkait; dan
2)
Kedudukan dan kewajiban para pihak.
d. Qard,
pinjaman kebaikan. Al- Qord digunakan untuk membantu keuangan nasabah
secara cepat dan berjangka pendek. Produk ini digunakan untuk membantu usaha
kecil dan keperluan social. Dana ini diperoleh dari dana zakat, infaq dan shadaqah.
e. Kafalah,
bank garansi digunakan untuk menjamin pembayaran suatu kewajiban pembayaran.
Bank dapat mempersyaratkan nasabah untuk menempatkan sejumlah dana untuk
fasilitas ini sebagai rohn. Bank dapat pula menerima dana tersebut dengan
prinsip wadi’ah. bank dapat ganti biaya atas jasa yang diberikan. [16]
BAB
III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penyaluran
dana dalam Bank konvensional, kita kenal dengan istilah kredit atau pinjaman.
Sedangkan dalam Bank Syari’ah untuk penyaluran dananya kita kenal dengan
istilah pembiayaan. Jika dalam Bank Konvensional keuntungan Bank diperoleh dari
bunga yang dibebankan, maka dalam Bank Syari’ah tidak ada istilah bunga, tetapi Bank
Syari’ah menerapkan sistem bagi hasil.
secara
garis besar produk pendanaan dan pembiayaan bank syari’ah di bagikan kedalam
empat kategori yang dibedakan berasarkan tujuan penggunaannya. Keempat kategori
itu adalah:
·
Pendanaan dengan
prinsip bagi hasil.
·
Pembiayaan
dengan prinsip jual beli.
·
Pembiayaan
dengan prinsip sewa, dan
·
Pembiayaan
dengan akad pelengkap.
Prinsip
bagi hasil dalam
perbankan syari’ah diaplikasikan dalam bentuk layanan musyarokah dan mudarabah.
Prinsip
jual beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahan kepemilikan barang.
Tingkat keuntungan yang diperoleh Bank ditentukan didepan dan menjadi bagian
harga atas barang yang dijual. Ada tiga jenis pengaplikasian prinsip jual beli
dalam produk penyaluran dana di bank syari’ah yaitu: murabahah, salam, dan
istisna’.
Transaksi
ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat. Jadi pada dasarnya prinsip ini
sama saja dengan prinsip jual
beli, namun perbedaanya terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual beli
transaksinya adalah barang, maka pada ijarah objek transaksinya adalah jasa.
Akad
pelengkap ini merupakan upaya untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan bank
syari’ah. Pembiayaan yang dilakukan
menggunakan akad-akad ini tidak di orientasikan pada keinginan untuk memperoleh
keuntungan. Hanya saja, pihak bank dapat menetapkan biaya pengganti dari biaya
yang dikeluarkan bank. Adapun beberapa akad pelengkap tersebut adalah:
·
Rahn.
·
Kafalah.
·
Hiwalah.
·
Wakalah.
·
Qard.
DAFTAR
PUSTAKA
Ahmadiono.
2013. Dasar-Dasar Bank Syari’ah.Jember: STAIN Jember Press.
Ascarya. 2007. Akad dan Produk Bank Syariah. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
Djamil,
Fathurrahman. 2012. Penerapan Hukum
Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga
Keuangan Syari’ah, Jakarta: Sinar Grafika.
Karim,
Adiwarman A. 2004. Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada.
Kasmir.2012.Bank
dan Lembga Lainny. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Lasmi wardiah,
Mia. 2013.Dasar-Dasar Perbankan. Bandung: Pustaka Setia.
Muhamad. 2014. Manajemen Dana Bank Syariah. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
Sulhan.
2008.Manajemen Bank. Malang: UIN-Malang Press.
Suwikno,Dwi.
2010. Jasa-Jasa Perbankan Syari’ah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
[3]
Ahmadiono, Dasar-Dasar Bank Syari’ah (Jember: STAIN Jember Press,
2013), 50.
[4]
Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan. (Jakarta:
PT. RajaGrafindo Persada. 2004), 102-103
[5] Mia
lasmi wardiah, Dasar-Dasar Perbankan (Bandung: Pustaka Setia, 2013), 95.
[6] Muhamad, Manajemen Dana Bank Syariah (Jakarta: Raja Wali Press, 2014), 42.
[7] Adiwarman A.
Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan. 99.
[8] Adiwarman A.
Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan.100.
[9]
Muhamad, Manajemen
Dana Bank Syariah, 46-52.
[10] Mia
lasmi wardiah, Dasar-Dasar Perbankan. 96.
[11] Fathurrahman
Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan
Syari’ah, (Jakarta: Sinar Grafika. 2012). 158.
[14] Adiwarman A.
Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan. (Jakarta: PT.
RajaGrafindo Persada, 2004), 106.