Rabu, 06 April 2016

Produk Penyaluran Dana Bank Syari'ah



BAB I
PENDAHULUAN
A.    Latar Belakang Masalah
Hal paling umum yang menjadi salah satu penggerak ekonomi konvensional adalah riba atau interest. Menurut Adiwarman Karim, suku bunga sendiri pada awalnya merupakan rate of return bagi kepemilikan modal, atau imbal jasa atas modal yang digunakan dalam proses produksi, bukan merupakan sebuah keuntungan atau uang yang dipinjamkan kepada investor yang menjalankan perekonomian.
Dalam ekonomi islam, riba dapat diartikan sebagai sebuah tambahan atas pinjaman yang diberikan kepada pihak peminjam terhadap pihak yang dipinjamkan tanpa keikhlasan dari pihak yang meminjamkan. Ekonomi islam kini menganggap bahwa interest rate sebagai perannya dalam menggerakkan perekonomian konvensional sekarang dapat diubah dengan rate on kapital, yaitu pendapatan atas modal barang dan jasa dalam proses produksi. Dengan alasan ini, adiwarman Karim menjelaskan bahwa perbankan islam dapat menggerakkan perputaran kegiatan atau aktivitasnya dengan ikut masuk ke dalam proses produksi yaitu dengan ikut atau berperan aktif dalam kegiatan usaha. Oleh karena itu, maka dua produk perbankan islam yang sekarang ada terbentuk dari ide dasar ini. Mudhorobah dan musyarokah dapat dikedepankan sebagai dua produk islam yang sering muncul dari ide dasar bahwa perbankan islam haruslah perbankan yang mengambil untung dari ikut berperannya mereka dlam berproses produksi dengan mendapat bagian dari bagi hasil pendapatan atau untung usaha yang didapatkan perusahaan yang menjadi rekan usahanya.
B.     Rumusan Maslah.
1.      Bagaimana sostem  penyaluran dana Bank Syari’ah?
2.      Apa saja Produk Penyaluran Dana Bnak Syari’ah?

C.    Tujuan.
1.      Untuk mengetahui sistem Penyaluran Dana Bank Syari’ah.
2.      Untuk mengetahui produk Penyaluran Bank Syari’ah.



               BAB  II
PEMBAHASAN
A.       Sistem Penyaluran Dana Bank Syari’ah.
Penyaluran dana dalam Bank konvensional, kita kenal dengan istilah kredit atau pinjaman. Sedangkan dalam Bank Syari’ah untuk penyaluran dananya kita kenal dengan istilah pembiayaan. Jika dalam Bank Konvensional keuntungan Bank diperoleh dari bunga yang dibebankan, maka dalam Bank Syari’ah tidak ada istilah bunga, tetapi Bank Syari’ah menerapkan sistem bagi hasil. Prinsip bagi hasil dalam Bank Syari’ah yang diterapkan dalam pembiayaan dapat dilakukan dalam empat akad utama, yaitu:
·         Al-musyarokah
·         Al-mudharabah
·         Al-muzaro’ah
·         Al-musaqoh[1]

B.        Produk Penyaluran Dana Bank Syari’ah.
Produk penyaluran dana di Bank Syari’ah dapat dikembangkan dengan tiga model, yaitu:
a.       Transaksi pembiayaan yang di tujukan untuk memiliki barang dilakukan dengan prinsip jual beli. Prinsip jual beli ini dikembangkan menadi bentuk pembiayaan-pembiayaan murobahah, salam, dan istisna’.
b.      Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk mendapatkan jasa dilakukan dengan prinsip sewa (ijarah). Transaksi ijarah dilandasi adanya pemindahan manfaat. Jadi pada dasarnya prinsip ijarah sama dengan prinsip jual beli, namun perbedaanya terletak pada obyek transaksinya. Bila pada jual beli obyek transaksinya adalah barang, maka pada ijarah obyek transaksinya jasa.
c.       Transaksi pembiayaan yang ditujukan untuk usaha kerjasama yang ditujukan guna mendapatkan sekaligus barang dan jasa, dengan prinsip bagi hasil.[2]
Selain itu, secara garis besar produk pendanaan dan pembiayaan bank syari’ah di bagikan kedalam empat kategori yang dibedakan berasarkan tujuan penggunaannya. Keempat kategori itu adalah:
·         Pendanaan dengan prinsip bagi hasil.
·         Pembiayaan dengan prinsip jual beli.
·         Pembiayaan dengan prinsip sewa, dan
·         Pembiayaan dengan akad pelengkap.

1.      Pendanaan dengan prinsip bagi hasil.
Prisip ini dirancang untuk terbinanya kebersamaan dalam menanggung risiko dan berbagi hasil usaha antara pemilik dana dan pengelola dana. Prinsip bagi hasil dalam perbankan syari’ah diaplikasikan dalam bentuk layanan musyarokah dan mudarabah. Kedua layanan permodalan ini, secara umum, dimilki bank syari’ah.[3]
a.      Musyarokah
Musyarokah adalah kerja sama antara dua belah pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan konstribusi dana dengan keuntungan dan risiko usaha akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Ø  Landasan Hukum
Al-Qur’an
Maka mereka berserikat pada sepertiga. (QS. An-Nisaa (4): 12).
Dan Sesungguhnya kebanyakan dari orang-orang yang berserikat itu sebagian mereka berbuat  zalim kepada sebagian yang lain kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal shaleh. (QS. Shaad: 24).
Secara tekhnis perbankan, feature musyarokah dapat dijelaskan sebagai berikut:
1.      Musyarokah dalam perbankan adalah syirkah inan,yakni akad kerja sama antara dua pihak, dimana masing-masing pihak menyerahkan dana sebagai modal.
2.      Penggunaan akad musyarokah untuk proyek atau usaha kerja sama.
3.      Ketentuan atas akad musyarokah.
a)      Dapat berupa uang tunai atau aset yang likuid.
b)      Dana tersebut menjadi modal usaha / proyek bersama.
c)      Dana tidak boleh untuk memberi pinjaman bagi pihak ketiga.
Ketentuan umum pembiayaan musyarokah adalah sebagai berikut:
1.      Semua modal disatukan untuk dijadikan modal proyek mustyarokah dan dikelola bersama-sama. Setiap pemilik modal berhak turut serta dalam menentukan kebijakan usaha yang dijalan kan oleh pelaksana proyek.
2.      Biaya yang timbul dalam pelaksanaan proyek dan jangka waktu proyek harus diketahui bersama. Keuntungan dibagi sesuai porsi kesepakatan sedangkan kerugian dibagi sesuai dengan kontribusi modal.
3.      Proyek yang akan dijalankan harus disebutkan dalam akad. Setelah proyek selesai nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank.[4]
b.    Mudharabah.
Mudharabah adalah akad kerjasama antara dua pihak, yaitu pihak pertama menyediakan seluruh modal dan pihak lain menjadi pengelola. Keuntungan dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak. Apabila rugi, kerugian tersebut akan ditanggung pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat dari kelalaian pengelola. Apabila kerugian itu bukan akibat dari kelalaian pengelola, pengelola bertanggung jawab mengatasinya.
Dalam dunia perbankan, al-mudharabah biasanya diaplikasikan pada produk pembiayaan atau pendanaan, seperti pembiayaan modal kerja. Dana untuk kegiatan mudharabah di ambil dari simpanan tabungan berjangka, seperti tabungan haji atau tabungan kurban. Dana juga dapat dilakukan dari deposito biasa dan deposito spesial yang dititipkan nasabah untuk usaha tertentu.[5]
Fitur dan mekanisme dalam pembiayaan atas dasar akad mudharabah:
a.       Bank bertindak sebagai pemilik dana (shahibul maal) yang menyediakan dan dengan fungsi sebagai modal kerja, dan nasabah bertindak sebagai pengelola dan (mudharib) dalam kegiatan usahanya;
b.      Bank memiliki hak dalam pengawasan dan pembinaan usaha nasabah walaupun tidak ikut serta dalam pengelolaan usaha nasabah;
c.       Pembagian hasil usaha dari pengelolahan dana dinyatakan dalam nisbah yang disepakati;
d.      Nisbah bagi hasil yang disepakati tidak dapat diubah sepanjang jangka waktu investasi, kucuali atas dasar kesepakatan para pihak;
e.       Jangka waktu pembiayaan atas dasar akad mudharabah, pengembalian dana, dan pembagian hasil usaha ditentukan berdasarkan kesepakatan bank dan nasabah;
f.       Pembiayaan atas dasar akad mudharabah diberikan dalam bentuk uang/atau barang, serta bukan dalam bentuk piutang tagihan;
g.      Pengembalian pembiayaan atas dasar mudharabah dilakukan dalam dua cara, yaitu secara angsuran ataupun sekaligus pada akhir periode akad, sesuai dengan jangka waktu pembiayaan atas dasar akad mudharabah.
h.      Pembagian hasil usaha dilakukan atas dasar laporan hasil usaha pengelola dana (mudharib) dengan disertai bukti pendukung yang dapat dipertanggung jawabkan; dan
i.        Kerugian usaha nasabah pengelola dana (mudharib) yang dapat ditanggung oleh bank selaku pemilik dana (shahibul maal) adalah maksimal sebesar jumlah pembiayaan yang diberikan (ra’sul maal).[6]
2.      Pembiayaan dengan prinsip jual beli.
Prinsip jual beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahan kepemilikan barang. Tingkat keuntungan yang diperoleh Bank ditentukan didepan dan menjadi bagian harga atas barang yang dijual.
v  Mekanisme prinsip jual beli.
1)      Dilakukan untuk transfer of property.
2)      Tingkat keuntungan bank ditentukan di depan dan menjadi harga jual barang.
Ada tiga jenis jual beli yang dijadikan dasar dalam pembiayaan dalam Bank Syari’ah sebagai berikut:
a.      Murabahah.
1.      Definisi
Murabahah adalah transaksi jual beli suatu barang sebesar harga perolehan barang ditambah dengan margin yang disepakati oleh para pihak, di mana penjual menginformasikan terlebih dahulu harga perolehan kepada pembeli.
2.      Fitur dan mekanisme
a)      Bank bertindak sebagai pihak penyedia dan dalam kegiatan transaksi murabahah  dengan nasabah;
b)      Bank dapat membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah disepakati kualifikasinya;
c)      Bank wajib menyediakan dana untuk merealisasikan penyediaan barang yang dipesan nasabah;
d)     Bank dapat memberikan potongan dalam besaran yang wajar dengan tanpa diperjanjikan di muka.
3.      Tujuan/Manfaat
a)      Bagi Bank
1.      sebagai salah satu bentuk penyaluran dana;
2.      memperoleh pendapatan dalam bentuk margin.
b)      Bagi Nasabah
1.      Merupakan salah satu alternatif untuk memperoleh barang tertentu melalui pembiayaan dari bank;
2.      Dapat mengangsur pembayaran dengan jumlah angsuran yang tidak akan berubah selama masa perjanjian.
b.      Salam.
1.      Definisi
Akad salam transaksi jual beli barang dengan cara pemesanan dengan syarat-syarat tertentu dan pembayaran tunai terlebih dahulu secara penuh. Salam adalah transaksi jual beli dimana barang yang diperjual belikan belum ada. Oleh karena itu barang diserahkan secara tangguh sementara pembayaran dilakukan tunai. Bank bertindak sebagai pembeli dan nasabah sebagai penjual.
Dalam praktik perbankan, ketika barang telah diserahkan kepada bank, maka bank akan menjualnya kepada rekanan nasabah atau kepada nasabah itu sendiri secara tunai atau secara cicilan. [7]
2.      Fitur dan mekanisme
a)      Bank bertindak sebagai pihak penyedia dana dalam kegiatan transaksi salam dengan nasabah;
b)      Bank dan nasabah wajib menuangkan kesepakatan dalam bentuk perjanjian tertulis berupa akad pembiayaan atas salam;
c)      Penyediaan dana oleh Bank kepada nasabah harus dilakukan di muka secara penuh yaitu pembiayaan atas dasar akad salam disepakati atau paling lambat 7 hari setelah pembiayaan atas dasar akad salam disepakati; dan
d)     Pembayaran oleh bank kepada nasabah tidak boleh dalam bentuk pembebasan utang nasabah kepada bank atau dalam bentuk piutang bank.
3.      Tujuan/Manfaat
a)      Bagi Bank
1.      sebagai salah satu bentuk penyaluran dana dalam rangka memperoleh barang tertentu sesuai kebutuhan nasabah akhir;
2.      memperoleh peluang untuk mendapatkan keuntungan apabila harga pasar barang tersebut pada saat diserahkan ke bank lebih tinggi dari pada jumlah pembiayaan yang diberikan;
3.      memperoleh pendapatan dalam bentuk margin atas transaksi pembayaran barang ketika diserahkan kepada nasabah akhir.
b)      Bagi Nasabah memperoleh dana dimuka sebagai modal kerja untuk memproduksi barang.
c.       Istishna’
1.      Definisi
Akad istishna’ transaksi jual beli barang dalam bentuk pemesanan pembuatan barang dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati dengan pembayaran sesuai dengan kesepakatan. Produk istisna’ menyerupai produk salam, tapi dalam istisna’ pembayarannya dapat dilakukan oleh bank dalam beberapa kali (termin) pembayaran. Skim istisna’ dalam bank syari’ah umumnya diaplikasikan pada pembiayaan manufaktur dan konstruksi.[8]
2.      Fitur dan mekanisme
a)      Bank bertindak sebagai pihak penyedia dana dalam kegiatan transaksi istishna’ dengan nasabah; dan
b)      Pembayaran oleh bank kepada nasabah tidak boleh dalam bentuk pembebasan utang nasabah kepada bank atau dalam bentuk piutang bank.
3.      Tujuan/manfaat
a)      Bagi bank
1.      Sebagai salah satu bentuk penyaluran dana dalam rangka menyediakan barang yang diperlukan oleh nasabah;
2.      memperoleh pendapatan dalam bentuk margin.
b)      Bagi nasabah memperoleh barang yang dibutuhkan sesuai spesifikasi tertentu.[9]
3.      Pembiayaan dengan prinsip sewa (ijarah).
Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat. Jadi pada dasarnya prinsip ini sama saja dengan prinsip jual beli, namun perbedaanya terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual beli transaksinya adalah barang, maka pada ijarah objek transaksinya adalah jasa.
Aplikasi dari pola ijarah dalam perbankan syari’ah diwujudkan dalam bentuk leasing, baik dalam bentuk opreating lease maupun finansial lease.[10] Akan tetapi pada umumnya, bank-bank tersebut lebih banyak menggunakan al-ijarah al-muntahi bittamlik, yaitu: akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang ditangan sipenyewa. Hal ini dilakukan karena lebih sederhana dari sisi pembukuan. Selain itu, bank juga tidak direpotkan untuk mengurus pemeliharaan aset, baik  pada saat leasing maupun sesudahnya.
Penerapan ijaroh dalam perbankan syari’ahdapat berupa sewa murni (ijarah tasyghiliyyah) dan sewa beli (ijarah wa iqtina/ ijarah muntahiya bittamlik). Kedua bentuk tersebut, secara konvenional dikenal sebagai operating lease dan financial lease, yang kedua-duanya sebagai bentuk dari sewa guna usaha (leasing).[11]

4.      Akad pelengkap.
Akad pelengkap ini merupakan upaya untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan bank syari’ah. Pembiayaan yang dilakukan menggunakan akad-akad ini tidak di orientasikan pada keinginan untuk memperoleh keuntungan. Hanya saja, pihak bank dapat menetapkan biaya pengganti dari biaya yang dikeluarkan bank.[12] Beberapa akad pelengkap itu adalah:
a.       Rahn, merupakan kegiatan menahan salah satu harta milik peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Kegiatan seperti ini dilakukan seperti jaminan utang atau gadai.
Rukun dari akad rahn harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa yaitu:
1)      Pelaku akad, yaitu rahin (yang menyerahkan barang), dana murtahin (penerima barang);
2)      Objek akad, yaitu marhun (barang jaminan) dan marhun bih (pembiayaan); dan
3)      Sighah, yaitu ijab dan qabul.
Sedangkan syarat-syarat dari akad rahn, yaitu:
1)      Pemeliharaan dan penyimpanan jaminan; dan
2)      Penjualan jaminan.[13]
Tujuan akad rohn adalah untuk memberikan jaminan pembayaran kembali kepada bank dalam memberikan pembiayaan.
Barang yang digadaikan wajib memenuhi kriteria:
1.      Milik nasabah sendiri.
2.      Jelas ukuran, sifat, dan nilainya ditentukan berdasarkan nilai riil pasar.
3.      Dapat dikuasai, namun tidak boleh dimanfaatkan oleh bank.
Atas izin bank, nasabah dapat menggunakan barang tertentu yang digadaikan dengan tidak mengurangi nilai dan merusak barang yang digadaikan apabila barang yang digadaikan rusak atau cacat, nasabah harus bertanggung jawab.
Apabila nasabah wanprestasi, bank dapat melakukan penjualan barang yang digadaikan atas perintah hakim. Nasabah mempunyai hak untuk menjual barang tersebut dengan seizin bank.apabila hasil penjualan melebihi kewajibannya, kelebihan tersebut menjadi  milik nasabah. Dalam hal hasil penjualan tersebut lebih kecil dari kewajibannya, maka nasabah harus menutupi kekurangannya.[14]
b.      Wakalah, artinya nasabah memberi kuasa kepada bank untuk mewakili dirinya melakukan pekerjaan jasa tertentu, seperti transfer, kliring, L/C (letter of credit). Atas jasanya, maka penerima kekuasaan dapat meminta imbalan tertentu dari pemberi amanah.
Rukun dari akad wakalah yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa hal, yaitu:
1)      Pelaku akad, yaitu muwakkil (pemberi kuasa) adalah pihak yang memberikan kuasa kepada pihak lain, dan wakil (penerima kuasa) adalah pihak yang diberi kuasa;
2)      Objek akad, yaitu taukil (objek yang dikuasakan); dan
3)      Shighah, yaitu ijab dan qabul.
Sedangkan syarat-syarat dari akad wakalah, yaitu:
1)      Objek akad harus jelas dan dapat diwakilkan; dan
2)      Tidak bertentangan dengan syariat islam.
Bentuk-bentuk akad wakalah, antara lain:
1)      Wakalah muthlaqah, yaitu perwakilan yang tidak terikat syarat tertentu; dan
2)      Wakalah muqayyadah¸ yaitu perwakilan yang terikat oleh syarat-syarat yang telah ditentukaan dan disepakati bersama.[15]
c.       Hiwalah adalah transaksi pengalihan utang piutang. Dalam praktek perbankan fasilitas hiwalah lazimnya digunakan untuk membantu supplier mendapatkan modal tunai agar dapat melanjutkan produksinya. Bank mendapat ganti biaya atas jasa pemindahan piutang.
Rukun dari akad hiwalah yang harus dipenuhi dalam transaksi ada beberapa, yaitu:
1)      Pelaku akad, yaitu muhal adalah pihak yag berhutang, muhil adalah pihak yang mempunyai piutang, muhal ‘alaih adalah pihak yang mengambil utang/piutang;
2)      Objek akad, yaitu muhal bih (utang); dan
3)      Shighah, yaitu ijab dan qabul.
Sedangkan syarat-syarat dari akad hiwalah, yaitu
1)      Persetujuan para pihak terkait; dan
2)      Kedudukan dan kewajiban para pihak.
d.      Qard, pinjaman kebaikan. Al- Qord digunakan untuk membantu keuangan nasabah secara cepat dan berjangka pendek. Produk ini digunakan untuk membantu usaha kecil dan keperluan social. Dana ini diperoleh dari dana zakat, infaq  dan shadaqah.
e.       Kafalah, bank garansi digunakan untuk menjamin pembayaran suatu kewajiban pembayaran. Bank dapat mempersyaratkan nasabah untuk menempatkan sejumlah dana untuk fasilitas ini sebagai rohn. Bank dapat pula menerima dana tersebut dengan prinsip wadi’ah. bank dapat ganti biaya atas jasa yang diberikan. [16]


BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Penyaluran dana dalam Bank konvensional, kita kenal dengan istilah kredit atau pinjaman. Sedangkan dalam Bank Syari’ah untuk penyaluran dananya kita kenal dengan istilah pembiayaan. Jika dalam Bank Konvensional keuntungan Bank diperoleh dari bunga yang dibebankan, maka dalam Bank Syari’ah tidak ada istilah bunga, tetapi Bank Syari’ah menerapkan sistem bagi hasil.
secara garis besar produk pendanaan dan pembiayaan bank syari’ah di bagikan kedalam empat kategori yang dibedakan berasarkan tujuan penggunaannya. Keempat kategori itu adalah:
·         Pendanaan dengan prinsip bagi hasil.
·         Pembiayaan dengan prinsip jual beli.
·         Pembiayaan dengan prinsip sewa, dan
·         Pembiayaan dengan akad pelengkap.
Prinsip bagi hasil dalam perbankan syari’ah diaplikasikan dalam bentuk layanan musyarokah dan mudarabah.
Prinsip jual beli dilaksanakan sehubungan dengan adanya perpindahan kepemilikan barang. Tingkat keuntungan yang diperoleh Bank ditentukan didepan dan menjadi bagian harga atas barang yang dijual. Ada tiga jenis pengaplikasian prinsip jual beli dalam produk penyaluran dana di bank syari’ah yaitu: murabahah, salam, dan istisna’.
Transaksi ijarah dilandasi adanya perpindahan manfaat. Jadi pada dasarnya prinsip ini sama saja dengan prinsip jual beli, namun perbedaanya terletak pada objek transaksinya. Bila pada jual beli transaksinya adalah barang, maka pada ijarah objek transaksinya adalah jasa.
Akad pelengkap ini merupakan upaya untuk mempermudah pelaksanaan pembiayaan bank syari’ah. Pembiayaan yang dilakukan menggunakan akad-akad ini tidak di orientasikan pada keinginan untuk memperoleh keuntungan. Hanya saja, pihak bank dapat menetapkan biaya pengganti dari biaya yang dikeluarkan bank. Adapun beberapa akad pelengkap tersebut adalah:
·         Rahn.
·         Kafalah.
·         Hiwalah.
·         Wakalah.
·         Qard.


















DAFTAR PUSTAKA

Ahmadiono. 2013. Dasar-Dasar Bank Syari’ah.Jember: STAIN Jember Press.
Ascarya. 2007.  Akad dan Produk Bank Syariah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Djamil, Fathurrahman. 2012.  Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di   Lembaga Keuangan Syari’ah, Jakarta: Sinar Grafika.
Karim, Adiwarman A. 2004. Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.
Kasmir.2012.Bank dan Lembga Lainny. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Lasmi wardiah, Mia. 2013.Dasar-Dasar Perbankan. Bandung: Pustaka Setia.
Muhamad. 2014. Manajemen Dana Bank Syariah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Sulhan. 2008.Manajemen Bank. Malang: UIN-Malang Press.
Suwikno,Dwi.  2010. Jasa-Jasa Perbankan Syari’ah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.


[1] Kasmir, Bank dan Lembga Lainnya (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012),  171.
[2] Sulhan, Manajemen Bank (Malang: UIN-Malang Press, 2008),  149.
[3] Ahmadiono, Dasar-Dasar Bank Syari’ah (Jember: STAIN Jember Press, 2013),  50.
[4] Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan. (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada. 2004), 102-103
[5] Mia lasmi wardiah, Dasar-Dasar Perbankan (Bandung: Pustaka Setia, 2013), 95.
[6] Muhamad, Manajemen Dana Bank Syariah (Jakarta: Raja Wali Press, 2014),  42.
[7] Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan. 99.
[8] Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan.100.
[9] Muhamad, Manajemen Dana Bank Syariah, 46-52.        
[10] Mia lasmi wardiah, Dasar-Dasar Perbankan. 96.
[11] Fathurrahman Djamil, Penerapan Hukum Perjanjian dalam Transaksi di Lembaga Keuangan Syari’ah, (Jakarta: Sinar Grafika. 2012). 158.
[12] Ahmadiono, Dasar-Dasar Bank Syari’ah, 60.
[13] Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2007), 108.
[14] Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan Keuangan. (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2004), 106.
[15] Ascarya, Akad dan Produk Bank Syariah, 104-105.
[16]Dwi Suwikno, Jasa-Jasa Perbankan Syari’ah. (Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2010), 29.